JellyMuffin.com - The place for profile layouts, flash generators, glitter graphics, backgrounds and codes

Rabu, 11 Maret 2009

Mencari Air di dalam Air

Mencari Air Di Dalam Air (Gede PraMa)

Mencari kebahagiaan. Itulah jawaban banyak sekali manusia ketika ditanya apa yang dicari melalui kegiatan bangun pagi, kerja keras, tidur amat terbatas sampai dengan membayarnya dengan hidup sakit-sakitan. Ada yang bertemu penuh rasa syukur sekali waktu saja, tetapi sebagian lebih manusia tidak pernah bertemu; terutama karena kebahagiaan berperilaku semakin dicari semakin lari. Siapa yang mencari kebahagiaan dalam barang, ia senantiasa dibawa lari keinginan yang terus menaik. Siapa yang mencarinya dalam uang, sering kebahagiaan dibawa lari oleh jumlah yang tidak pernah cukup. Siapa yang mencarinya dalam jabatan, semakin tinggi jabatannya semakin tinggi juga rasa takut kehilangan. Siapa yang mencarinya dalam keterkenalan, cepat atau lambat keterkenalan membawa onak duri. Ada duri ego, tinggi hati, harga diri sampai dengan hobi menyakiti.

Dalam peta kebahagiaan seperti ini, mungkin bisa dimaklumi kalau seorang mistikus yang bernama Kabir pernah tertawa sambil menyindir,Aku tertawa, ikan mati kehausan di dalam air. Cubitan Kabir ini menyentak, karena implisit berarti manusia ”mencari air di dalam air”. Sudah hidup di dalam danau (atau mungkin samudera) yang penuh air berlimpah, tetapi masih mencari-cari air untuk diminum karena kehausan. Kehidupan itu sendiri sebuah kebahagiaan. Bukankah lahir menjadi manusia adalah berkah yang mengagumkan, sebuah pintu pertumbuhan yang juga mengagumkan? Dalam bahasa orang sufi, dalam diri manusia, Tuhan mengalami pengalaman-pengalam an yang membahagiakan. Dan tertawa Kabir terasa semakin menyengat, terutama di waktu-waktu ketika kita manusia berkejaran, berkejaran dan berkejaran. Berkejaran dengan target; berkejaran dengan waktu; berkejaran dengan teman atau lawan; berkejaran dengan keinginan; berkejaran dengan cita-cita; ataupun berkejaran dengan umur. Seolah-olah tidak ada jeda.

Sedikit sekali waktu istirahat dalam hidup. Bahkan, ketika tidur pun masih berkejaran di dalam mimpi. Maka, seorang penulis kemudian menyentak melalui judul bukunya yang berbunyi: When is Enough Enough? Kapan cukup itu terasa cukup? Ini pun menimbulkan perasaan berkejaran kembali. Begitu pertanyaan dimulai dengan kapan, ada urgensi, ada perasaan mau berlari, ada keinginan untuk cepat-cepat sampai. Dan kembali kita meluncur ke dalam keadaan mencari air di dalam air. Dalam kegelapan seperti ini, tentu banyak yang berterima kasih ke seorang guru yang pernah memperkenalkan meditasi langit biru. Idenya teramat sederhana, mudah dicerna, tetapi teramat mendalam. Apa pun yang sifatnya datang dan pergi ketika meditasi (entah keinginan, rasa bersalah, dll.) hanyalah awan-awan gelap yang mengenal hukum datang dan pergi. Dan semua awan yang datang dan pergi ini berputar dalam siklus. Setelah jadi awan, jadi hujan, kemudian jadi air yang mengalir di sungai, sampai di laut menguap lagi jadi awan. Ada putaran ketidakabadian di sana.

Berbeda dari awan, langit biru, ya, langit biru. Ada-tidak ada awan, langit biru tetap di sana. Ada-tidak ada sinar matahari, langit biru tetap langit biru. Entah siang entah malam, kelihatan atau tidak kelihatan, langit biru tetap permanen di sana. Ada keabadian di sana. Kecelakaan dan kejar-kejaran dalam hidup yang tidak mengenal henti hanya dialami oleh manusia-manusia jenis awan. Berputar, berputar dan berputar bersama keinginan, kemauan dan cita-cita. Meditasi langit biru mengajarkan, belajarlah hanya melihat putaran-putaran awan. Singkatnya, menjadi compassionate witness. Seorang saksi yang penuh kasih sayang. Ia mirip seorang kakek yang menunggui cucunya berlari-lari di taman. Senakal apa pun sang cucu, kakek hanya tersenyum penuh pengertian.

Demikian juga dalam keseharian, ketika hidup ini dipermainkan keinginan, kekhawatiran dan ketakutan. Duduklah di kursi kakek yang penuh pengertian, lihat sang cucu (baca: keinginan dan ketakutan, suka dan duka, kematian dan kehidupan) berlari ke sana kemari. Tidak akan ke mana-mana larinya. Seperti awan gelap, hanya berputar-putar berganti bentuk. Dan masih menurut penemu meditasi langit biru, siapa saja yang rajin berlatih menjadi compassionate witness bagi setiap pengalaman keseharian pada suatu waktu akan sampai dalam kesadaran bahwa dirinya bukan awan, melainkan langit biru. Persis seperti langit biru di atas sana: tenang, damai, indah, abadi. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah; tidak ada baik, tidak ada buruk; tidak ada sukses, tidak ada gagal; tidak ada hidup, tidak ada mati. Semua dualitas berhenti bertentangan dan bertabrakan. Ia lebur ke dalam hening. Ini yang disebut oleh Dainin Katagiri dengan returning to silence. Ke mana saja mata memandang, yang tersisa hanya satu: keindahan! Seorang sahabat menyebut keadaan ini dengan cosmic orgasm. Semacam orgasme kosmis. Ia mirip film Life is Beautiful yang legendaris itu. Dalam suka dalam duka, dalam keadaan biasa atau di penjara, yang tersisa hanya satu: bergembira. Bahkan, ditembak mati pun hanyalah sebentuk awan yang berganti wajah. Apa pun wajah awannya kemudian, langit biru tetap langit biru. Dan Anda pun tidak perlu ’mencari air di dalam air’.

Tidak ada komentar: